A. Konteks
Penelitian
Keluarga pesantren
adalah keluarga atau salah satu keluarga yang didalamnya mempunyai dan memiliki
pesantren. Pada umumnya bagi keluarga pesantren yang memiliki pesantren adalah
menjadi pengasuh dan pendidik dalam pesantrennya. Keluarga pesantren adalah
salah satu tokoh masyarakat yang sangat dihormati dan disegani dalam
masyarakat, biasanya masyarakat menyebutnya ulama atau kyia. Para ulama sangat
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat karena para ulama sebagai
panutan atau suri tauladan yang baik yang patut untuk di contoh. Maka dari itu
setiap tingkah laku para ulama adalah menjadi pijakan bagi masyarakat. Seperti
contoh dalam mengikuti progam KB. Pada umumnya para ulama terdahulu sangat
menetang sekali terhadap progam tersebut karena dianggap bertentangan dengan
syari’ah agama. Tetapi setelah dikaji lebih dalam oleh para ulama dalam segi
kemaslahatannya KB sangat memiliki peran atau membawa manfaat terhadap
keharmonisan keluarga dalam membentuk keluarga yang berkualitas menuju keluarga
sakinah.
Bahkan pada
saat ini terdapat sebagian keluarga pesantren (keluarga para ulama) yang
mengikuti progam KB karena terdapat alasan-alasan yang sangat kuat dalam segi
pendidikan, kesehatan dan psikologi. Seperti contoh dalam segi kesehatan,
menurut dokter dalam usia 35 tahun adalah usia rawan untuk hamil dan melahirkan
bagi perempuan, karena pada usia tersebut tingkat kondisi tubuh menurun. Setiap
orang hamil harus mempunyai daya tubuh yang kuat untuk melahirkan dan apabila
mereka tidak mempunyai daya tubuh yang kuat maka hal itu dapat membahayakan
bagi ibu dan anak. Di samping itu juga apabila dilihat dari segi psikologisnya,
setiapa orang tua haruslah adil dalam membagi rasa kasih sayang terhadap setiap
anak-anaknya. Orang hamil pada umumnya tingkat kondisi emosional sangat tidak
stabil apabila hal itu terus terjadi dalam artian hamil terus, maka hal itu
dapat berakibat buruk terhadap pendidikan anak-anaknya dan anak-anak tersebut
tidak dapat dirawat dengan baik. Maka
dari alasan-alasan di atas keluarga pesantren memutuskan untuk mengikuti progam
KB.
|
Islam mengizinkan Kontrasepsi selama
ia tidak menyebabkan pemisahan redikal antara perkawinan dengan fungsi
reproduksinya. Sejak masa Rosulullah SAW, kontrasepsi telah dipraktikkan. Tepi
beliau SAW menegaskan bahwa hal itu harus merupakan keputusan bersama
suami-istri.[1]
Kontrasepsi ini dikenal oleh para ahli fiqh dengan Azel yaitu mengeluarkan
sperma diluar rahim. hanya saja dengan perkembangan dunia medis telah menemukan
pengganti azel yang lebih praktis yang dikenal dengan kontrasepsi modern
(metode efektif) yaitu mengkonsumsi pil atau AKDR (alat kontrasepsi dalam
rahim). Yang kedua cara tersebut (azel dan kontrasepsi modern) memiliki tujuan
yang sama yaitu mencegah kehamilan, hanya caranya saja yang berbeda.[2]
Pemakaian alat kontrasespsi ini umumnya lebih dikenal dalam metode progam
keluarga berencana. Keluarga berencana
(KB) adalah istilah yang mungkin sudah lama dikenal dalam masyarakat. KB
artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak pasangan suami istri, dan
menentukan sendiri kapan istri ingin hamil. Bila istri memutuskan untuk tidak
segera hamil sesudah menikah. Layanan KB di seluruh Indonesia sudah cukup mudah
diperoleh. Ada beberapa metoda pencegahan kehamilan, atau penjarangan
kehamilan, atau kontrasepsi.[3]
Perbincangan mengenai progam
keluarga berencana, pencegahan
kehamilan, serta pembatasan kelahiran selalu menempatkan masyarakat ke dalam
dua sudut pandang yang berbeda, yaitu: yang setuju dan yang menolak. Dana yang
melimpah, intitusi yang kuat, dan pengawasan pelaksanaan oleh aparat membuat
progam ini seolah-olah mengekang dan mencampuri urusan domestik keluarga.[4]
Keluarga Berencana (KB) berarti pasangan suami istri telah mempunyai
perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir agar
setiap anaknya lahir di sambut dengan rasa gembira dan syukur. Dan pasangan
suami istri tersebut juga telah merencanakan berapa anak yang dicita-citakan,
yang disesuaikan dengan kemampuannya sendiri dan situasi dan kondisi masyarakat
dan negaranya.[5]
Para fakih (ahli Hukum Islam) memperbolehkan
perencanaan keluarga (KB) bagi beberapa alasan, di antranya yaitu : karena
pertimbangan kesehatan, sosial dan ekonomi. [6]
Alasan dilakukannya pencegahan kehamilan
karena takut pada pengaruh buruk kehamilan kalau memiliki anak bayi saat
menyusui. Di sinilah sebetulnya pentingnya menyusui
bayi selama dua tahun penuh.
والوالدات يرضعن اولا دهن
حولين كاملين لمن اراد ان يتم رضاعة (البقرة: 233)
Artinya:
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.............”. (Q.S Al-Baqarah: 233).
Ayat ini menerangkan bahwa anak
harus disusukan selama dua tahun penuh.
Karena itu, ibunya tidak boleh hamil lagi sebelum cukup umur bayinya dua tahun.[7] Untuk mencapai penyusuan selama dua tahun penuh,
upaya pencegahan kehamilan dilakukan sehingga jarak kelahiran antara anak satu
dengan yang lainnya minimal dua tahun sembilan bulan atau tiga puluh tiga
bulan. Dengan jarak ideal inilah tumbuh kembang anak bisa dioptimalkan supaya anak
bisa sehat dan terhindar dari penyakit, karena susu ibulah yang paling baik
untuk pertumbuhan bayi, dibandingkan dengan susu buatan dan kesehatan ibu juga
terjaga.
Kewajiban menyusui dua tahun penuh
dan upaya pencegahan kehamilan adalah urusan domestik rumah tangga. Aturan-aturan hukum Islam diperlukan untuk
alasan melakukan dan perlindungan kegiatan tersebut. [8]
Salah satu alasan lain dilakukannya
pencegahan kehamilan karena Sebagian perempuan lain menganggap bahwa banyaknya
anak justru semakin memiskinkan keluarga dan mempersulit pengentasan nasib
mereka. Banyak orangtua yang sedih dan menyesal
karena kebanyakan anak, tidak mampu memberi mereka penghidupan yang layak, tak
mampu menyekolahkan mereka sampai jenjang yang tinggi, dan akibatnya anak-anak
mereka itu tak mendapat peluang memperbaiki generasi mereka.[9]
Pada hakekatnya salah satu disyariatkannya nikah adalah untuk meregenerasi
keturunan manusia dan memperbanyak umat
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang disinyalir dalam sabda beliau :
"Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena
sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi
nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin
Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Akan tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu
tidak memungkinkan seorang ibu untuk merealisasikan harapan tersebut
karena kondisi fisiknya yang lemah, atau kondisi tersebut dari pihak sang ayah
yang tidak mampu memikul beratnya tanggung jawab mencari nafakah untuk keluarganya
(karena kemiskinannya), atau karena sudah banyaknya anak sehingga ia merasa
sudah tidak mampu lagi untuk mendidiknya dengan pendidikan yang benar (karena
pendidikan adalah tanggung jawab orang tua). maka dengan kondisi di atas
syariat islam membolehkan mengatur jarak kehamilan bahkan boleh membatasinya
dengan memakai kontrasepsi yang dibenarkan oleh syariat (tidak boleh
menggunakan bentuk lain yang menyebabkan kemandulan).[10]
Bahkan menjadi dosa baginya, jika
kalau ia melahirkan anak tidak terurusi masa depannya yang akhirnya menjadi
beban yang berat bagi masyarakat, karena orang tuanya tidak menyanggupi biaya
hidupnya, kesehatan dan pendidikannya. Hal ini berdasarkan pada sebuah ayat
Al-Qur’an yang berbunyi:
وليخشى الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا
خافوا عليهم فليتقوا الله واليقولوا قولا سديدا (النساء: 9)
Artinya:
”Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (Q.S An-Nisa’: 9).
Ayat ini menerangkan bahwa kelemahan bahwa
kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan
intelegeni anak, akibat kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab
kedua orang tuanya. Maka disinilah peran KB untuk membantu orang-orang
yang tidak dapat menyanggupi hal tersebut, agar tidak berdosa di kemudian hari
bila meninggalkan keturunannya.[11]
KB Secara
subtansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan salah satu bentuk
implementasi semangat ajaran Islam dalam rangka mewujudkan sebuah
kemashlahatan, yaitu menciptakan keluarga yang tangguh, sakinah, mawadah
dan penuh rahmah. Keluarga akan melahirkan bangsa yang tangguh.
Kebolehan hukum ber KB, sudah menjadi kesepakatan para ulama dalam forum-forum
keislaman, baik tingkat nasional maupun international (Ijma’al-majami’).[12]
Keluarga
merupakan basis sosial pertama setiap
orang. Karena kehidupan dalam keluarga sebagai barometer dasar setiap orang,
maka dalam lingkup inilah perlu dibangun konsep dan prilaku yang mendasar pula.
Dalam bahasa Al-Qur’an konsep dasar keluarga ini disebut dengan Sakinah,
mawaddah dan rahmah.
Keluarga
sakinah bermakna bahwa dalam merangkai bahtera kehidupan berumah tangga, baik
dalam suka maupun duka senantiasa pada riil ketenangan hati, ketentraman jiwa
dan kejenihan nalar padhang. Ketika dalam suka, tidak berlebih-lebihan dan ketika dalam duka, tidak juga
nelangsa yang berlebihan pula. Semua kehidupan dihadapi dan dijalani dengan
ayat Tuhan, sakinah.[13]
Keluarga ialah suatu kesatuan sosial
yang terkecil di dalam masyarakat, yang diikat oleh tali penikahan yang sah.
Jadi keluarga di sini adalah keluarga inti, yang menurut istilah di Jawa batih,
atau menurut istilah Inggris nuclear family, yang terdiri dari
suami-istri dan anak-anak. Bukan extended family atau keluarga besar,
yang terdiri dari keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang dekat
maupun yang ada hubungan perkawinan.[14]
Kehidupan berkeluarga atau
bersuami-istri diawali dengan pernikahan. Pernikahan mengandung makna spritual
yang suci dan agung, dan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Karena dengan pernikahan yang sah, pergaulan antara
laki-laki dan perempuan menjadi terhormat, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk termulia.[15]
Pernikahan merupakan Sunnatullah yang
umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi
makhluk-Nya untuk mendapatkan keturunan dan melestarikan hidupnya. Pernikahan
akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. [16]
Salah satu tujuan utama dari pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah,
mawaddah, rahmah, memenuhi libido seksual, mengikuti Sunnah Rasul,
menjalankan perintah Allah SWT dan memiliki keturunan. Ketentraman hidup dapat
diperoleh manakalah orang tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik itu
kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah.
Memiliki keturunan adalah salah satu daripada tujuan pernikahan. Insting
untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi,
perlu diketahui bahwa, mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanah
dari Allah SWT. walupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk
tidak mempunyai anak. [17]
Hal ini sesuai dengan Firman
Allah dalam Surat Asy-Syura: 49-50 berbunyi:
لله ملك السموات والارض يخلق ما يشاء يهب لمن
يشاء اناثا ويهب لمن يشاء الذكور. او يزوجهم ذكرانا واناثا ويجعل من يشاء عقيما
انه عليم قدير. (الشرى: 49 – 50)
Artinya:
”
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki
dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, Atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang
dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy-Syura: 49-50).[18]
Tanggungjawab ibu bapak terhadap anak-anak sangat besar sekali. Amanah tersebut bermula sejak
dari awal, mulai sebelum anak itu dilahirkan sampai dewasa. Islam menuntut
laki-laki dan wanita memilih teman hidup daripada orang-orang yang saleh.
Kemudian mereka diajari untuk sentiasa berdo'a agar dikurniakan anak-anak yang
saleh. Termasuk dalam amanah ini ialah untuk menamakan anak-anak dengan
nama-nama yang baik, menguruskan keperluannya, menjaganya daripada sesuatu yang
merusakkannya dan mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu mandiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Mengasuh anak ialah mendidik, membimbing dan memeliharanya, mengurus
makanan, minuman, pakaian, kebersihannya, atau pada segala perkara yang
seharusnya diperlukan, sampai batas bilamana si anak telah mampu melaksanakan
keperluannya.[19]
Dari latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti
dan mengkaji materi tersebut dan dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan
pada pandangan keluarga pesantren tentang keluarga berencana serta aplikasi
progam keluarga berencana dikalangan keluarga pesantren. Pada umumnya ada
sebagian para ulama yang mendukung terhadap progam keluarga berencana dan ada
sebagian juga yang tidak mendukung terhadap progam tersebut. Dan sejauh ini
pula peneliti juga ingin mengetahui sejauh mana peran progam berencana tersebut
dalam membentuk keluarga sakinah dikalangan keluarga pesantren, serta dampaknya
dalam membentuk keluarga sakinah.
[1]Hassan Hathout, Panduan Seks Islami
(Jakarta: Zahra, 2008),125.
[2]”Kontrasepsi
dalam tinjauan syar'i”, http://islammuna.multiply.com/journal/item/15
(diakses pada 08 Mei 2008).
[3]”Keluarga Berencana”, http://situs.kesrepro.info/kb/referensi.htm,
(diakses pada 08 Mei 2008).
[4]Thariq At-Thawari, KB Cara Islam
(Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2007), viii.
[5]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo,
1997), 55.
[6]Hathout, , Op. Cit., 125.
[7]Mahjudin, Masailil Fiqhiyah (Jakarta:
Kalam Mulia, 2007), 70.
[8]At-Thawari,
Op. Cit., xii.
[9]Keluarga
Berencana, Op Cit,
[10]Kontrasepsi
Dalam Tinjauan Syar’i, Op.Cit.,
[11]Mahjudin, Op. Cit., 69-70.
[12]BKKBN, ”KB Tidak
bertentangan dengan ajaran Islam”, http://www.bkkbn.go.id/gemapria/info.detail.php?infid=29 (diakses pada 08 Mei 2008).
[13]Zaitunah Subhan, Membina Keluarga
Sakinah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), v-vi.
[14]Zuhdi, Op. Cit., 54.
[16]Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih
Munakahat (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 9.
[17]Ibid., 12-13.
[19]”Institusi Keluarga Dalam Islam”, http://www.geocities.com/farouq1965/TPSM/1i.htm
,(diakses pada 08 Mei 2008).4.1-4.3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar