Jumat, 18 November 2011

KELUARGA BERENCANA DI KALANGAN KELUARGA PESANTREN DALAM MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH


A.  Konteks Penelitian

            Keluarga pesantren adalah keluarga atau salah satu keluarga yang didalamnya mempunyai dan memiliki pesantren. Pada umumnya bagi keluarga pesantren yang memiliki pesantren adalah menjadi pengasuh dan pendidik dalam pesantrennya. Keluarga pesantren adalah salah satu tokoh masyarakat yang sangat dihormati dan disegani dalam masyarakat, biasanya masyarakat menyebutnya ulama atau kyia. Para ulama sangat mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat karena para ulama sebagai panutan atau suri tauladan yang baik yang patut untuk di contoh. Maka dari itu setiap tingkah laku para ulama adalah menjadi pijakan bagi masyarakat. Seperti contoh dalam mengikuti progam KB. Pada umumnya para ulama terdahulu sangat menetang sekali terhadap progam tersebut karena dianggap bertentangan dengan syari’ah agama. Tetapi setelah dikaji lebih dalam oleh para ulama dalam segi kemaslahatannya KB sangat memiliki peran atau membawa manfaat terhadap keharmonisan keluarga dalam membentuk keluarga yang berkualitas menuju keluarga sakinah.
            Bahkan pada saat ini terdapat sebagian keluarga pesantren (keluarga para ulama) yang mengikuti progam KB karena terdapat alasan-alasan yang sangat kuat dalam segi pendidikan, kesehatan dan psikologi. Seperti contoh dalam segi kesehatan, menurut dokter dalam usia 35 tahun adalah usia rawan untuk hamil dan melahirkan bagi perempuan, karena pada usia tersebut tingkat kondisi tubuh menurun. Setiap orang hamil harus mempunyai daya tubuh yang kuat untuk melahirkan dan apabila mereka tidak mempunyai daya tubuh yang kuat maka hal itu dapat membahayakan bagi ibu dan anak. Di samping itu juga apabila dilihat dari segi psikologisnya, setiapa orang tua haruslah adil dalam membagi rasa kasih sayang terhadap setiap anak-anaknya. Orang hamil pada umumnya tingkat kondisi emosional sangat tidak stabil apabila hal itu terus terjadi dalam artian hamil terus, maka hal itu dapat berakibat buruk terhadap pendidikan anak-anaknya dan anak-anak tersebut tidak dapat dirawat dengan baik. Maka dari alasan-alasan di atas keluarga pesantren memutuskan untuk mengikuti progam KB.
1
 
            Keluarga pesantren juga berpandangan bahwa  mengikuti progam KB adalah tidak masalah dalam artian hukum islam membolehkan karena progam KB membawa kemaslahatan bagi keluarga. Keluarga pesantren (keluarga para ulama) dan para tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk menggerakkan dan memberikan motivasi kepada masyarakat dalam mengikuti program KB nasional. Karena dengan KB jarak kelahiran anak dapat diatur yang akhirnya akan menjadi keluarga yang sakinah dan berkualitas.  
            Islam mengizinkan Kontrasepsi selama ia tidak menyebabkan pemisahan redikal antara perkawinan dengan fungsi reproduksinya. Sejak masa Rosulullah SAW, kontrasepsi telah dipraktikkan. Tepi beliau SAW menegaskan bahwa hal itu harus merupakan keputusan bersama suami-istri.[1]
Kontrasepsi ini dikenal oleh para ahli fiqh dengan Azel yaitu mengeluarkan sperma diluar rahim. hanya saja dengan perkembangan dunia medis telah menemukan pengganti azel yang lebih praktis yang dikenal dengan kontrasepsi modern (metode efektif) yaitu mengkonsumsi pil atau AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim). Yang kedua cara tersebut (azel dan kontrasepsi modern) memiliki tujuan yang sama yaitu mencegah kehamilan, hanya caranya saja yang berbeda.[2]
Pemakaian alat kontrasespsi ini umumnya lebih dikenal dalam metode progam keluarga berencana. Keluarga berencana  (KB) adalah istilah yang mungkin sudah lama dikenal dalam masyarakat. KB artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak pasangan suami istri, dan menentukan sendiri kapan istri ingin hamil. Bila istri memutuskan untuk tidak segera hamil sesudah menikah. Layanan KB di seluruh Indonesia sudah cukup mudah diperoleh. Ada beberapa metoda pencegahan kehamilan, atau penjarangan kehamilan, atau kontrasepsi.[3]
 Perbincangan mengenai progam keluarga berencana,  pencegahan kehamilan, serta pembatasan kelahiran selalu menempatkan masyarakat ke dalam dua sudut pandang yang berbeda, yaitu: yang setuju dan yang menolak. Dana yang melimpah, intitusi yang kuat, dan pengawasan pelaksanaan oleh aparat membuat progam ini seolah-olah mengekang dan mencampuri urusan domestik keluarga.[4]
Keluarga Berencana (KB) berarti pasangan suami istri telah mempunyai perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir di sambut dengan rasa gembira dan syukur. Dan pasangan suami istri tersebut juga telah merencanakan berapa anak yang dicita-citakan, yang disesuaikan dengan kemampuannya sendiri dan situasi dan kondisi masyarakat dan negaranya.[5]
             Para fakih (ahli Hukum Islam) memperbolehkan perencanaan keluarga (KB) bagi beberapa alasan, di antranya yaitu : karena pertimbangan kesehatan, sosial dan ekonomi. [6]
             Alasan dilakukannya pencegahan kehamilan karena takut pada pengaruh buruk kehamilan kalau memiliki anak bayi saat menyusui. Di sinilah sebetulnya pentingnya menyusui bayi selama  dua  tahun penuh.
والوالدات يرضعن اولا دهن حولين كاملين لمن اراد ان يتم رضاعة (البقرة: 233)

Artinya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.............”. (Q.S  Al-Baqarah: 233).

            Ayat ini menerangkan bahwa anak harus  disusukan selama dua tahun penuh. Karena itu, ibunya tidak boleh hamil lagi sebelum cukup umur bayinya dua tahun.[7] Untuk mencapai penyusuan selama dua tahun penuh, upaya pencegahan kehamilan dilakukan sehingga jarak kelahiran antara anak satu dengan yang lainnya minimal dua tahun sembilan bulan atau tiga puluh tiga bulan. Dengan jarak ideal inilah tumbuh kembang anak bisa dioptimalkan supaya anak bisa sehat dan terhindar dari penyakit, karena susu ibulah yang paling baik untuk pertumbuhan bayi, dibandingkan dengan susu buatan dan kesehatan ibu juga terjaga.
            Kewajiban menyusui dua tahun penuh dan upaya pencegahan kehamilan adalah urusan domestik rumah tangga. Aturan-aturan hukum Islam diperlukan untuk alasan melakukan dan perlindungan kegiatan tersebut. [8]
            Salah satu alasan lain dilakukannya pencegahan kehamilan karena Sebagian perempuan lain menganggap bahwa banyaknya anak justru semakin memiskinkan keluarga dan mempersulit pengentasan nasib mereka. Banyak orangtua  yang sedih dan menyesal karena kebanyakan anak, tidak mampu memberi mereka penghidupan yang layak, tak mampu menyekolahkan mereka sampai jenjang yang tinggi, dan akibatnya anak-anak mereka itu tak mendapat peluang memperbaiki generasi mereka.[9]
Pada hakekatnya salah satu disyariatkannya nikah adalah untuk meregenerasi keturunan manusia dan memperbanyak umat  Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang disinyalir dalam sabda beliau : "Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Akan tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu  tidak memungkinkan seorang ibu untuk merealisasikan harapan tersebut karena kondisi fisiknya yang lemah, atau kondisi tersebut dari pihak sang ayah yang tidak mampu memikul beratnya tanggung jawab mencari nafakah untuk keluarganya (karena kemiskinannya), atau karena sudah banyaknya anak sehingga ia merasa sudah tidak mampu lagi untuk mendidiknya dengan pendidikan yang benar (karena pendidikan adalah tanggung jawab orang tua). maka dengan kondisi di atas syariat islam membolehkan mengatur jarak kehamilan bahkan boleh membatasinya dengan memakai kontrasepsi yang dibenarkan oleh syariat (tidak boleh menggunakan bentuk lain yang menyebabkan kemandulan).[10]
            Bahkan menjadi dosa baginya, jika kalau ia melahirkan anak tidak terurusi masa depannya yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat, karena orang tuanya tidak menyanggupi biaya hidupnya, kesehatan dan pendidikannya. Hal ini berdasarkan pada sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وليخشى الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله واليقولوا قولا سديدا (النساء: 9)
 Artinya:
”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (Q.S An-Nisa’: 9).

                Ayat ini menerangkan bahwa kelemahan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegeni anak, akibat kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Maka disinilah peran KB untuk membantu orang-orang yang tidak dapat menyanggupi hal tersebut, agar tidak berdosa di kemudian hari bila meninggalkan keturunannya.[11]  
            KB Secara subtansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan salah satu bentuk implementasi semangat ajaran Islam dalam rangka mewujudkan sebuah kemashlahatan, yaitu menciptakan keluarga yang tangguh, sakinah, mawadah dan penuh rahmah. Keluarga akan melahirkan bangsa yang tangguh. Kebolehan hukum ber KB, sudah menjadi kesepakatan para ulama dalam forum-forum keislaman, baik tingkat nasional maupun international (Ijma’al-majami’).[12]
            Keluarga merupakan basis sosial  pertama setiap orang. Karena kehidupan dalam keluarga sebagai barometer dasar setiap orang, maka dalam lingkup inilah perlu dibangun konsep dan prilaku yang mendasar pula. Dalam bahasa Al-Qur’an konsep dasar keluarga ini disebut dengan Sakinah, mawaddah dan rahmah.
            Keluarga sakinah bermakna bahwa dalam merangkai bahtera kehidupan berumah tangga, baik dalam suka maupun duka senantiasa pada riil ketenangan hati, ketentraman jiwa dan kejenihan nalar padhang. Ketika dalam suka, tidak berlebih-lebihan dan ketika dalam duka, tidak juga nelangsa yang berlebihan pula. Semua kehidupan dihadapi dan dijalani dengan ayat Tuhan, sakinah.[13]
            Keluarga ialah suatu kesatuan sosial yang terkecil di dalam masyarakat, yang diikat oleh tali penikahan yang sah. Jadi keluarga di sini adalah keluarga inti, yang menurut istilah di Jawa batih, atau menurut istilah Inggris nuclear family, yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak. Bukan extended family atau keluarga besar, yang terdiri dari keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang dekat maupun yang ada hubungan perkawinan.[14]
            Kehidupan berkeluarga atau bersuami-istri diawali dengan pernikahan. Pernikahan mengandung makna spritual yang suci dan agung, dan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena dengan pernikahan yang sah, pergaulan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk termulia.[15]
            Pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk mendapatkan keturunan dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. [16]  
Salah satu tujuan utama dari pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, memenuhi libido seksual, mengikuti Sunnah Rasul, menjalankan perintah Allah SWT dan memiliki keturunan. Ketentraman hidup dapat diperoleh manakalah orang tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik itu kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah.
Memiliki keturunan adalah salah satu daripada tujuan pernikahan. Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa, mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanah dari Allah SWT. walupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk tidak mempunyai anak. [17]  Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Surat Asy-Syura: 49-50 berbunyi:
لله ملك السموات والارض يخلق ما يشاء يهب لمن يشاء اناثا ويهب لمن يشاء الذكور. او يزوجهم ذكرانا واناثا ويجعل من يشاء عقيما انه عليم قدير. (الشرى: 49 – 50)

Artinya:
” Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.”  (QS. Asy-Syura: 49-50).[18]

Tanggungjawab ibu bapak terhadap anak-anak sangat  besar sekali. Amanah tersebut bermula sejak dari awal, mulai sebelum anak itu dilahirkan sampai dewasa. Islam menuntut laki-laki dan wanita memilih teman hidup daripada orang-orang yang saleh. Kemudian mereka diajari untuk sentiasa berdo'a agar dikurniakan anak-anak yang saleh. Termasuk dalam amanah ini ialah untuk menamakan anak-anak dengan nama-nama yang baik, menguruskan keperluannya, menjaganya daripada sesuatu yang merusakkannya dan mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu mandiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Mengasuh anak ialah mendidik, membimbing dan memeliharanya, mengurus makanan, minuman, pakaian, kebersihannya, atau pada segala perkara yang seharusnya diperlukan, sampai batas bilamana si anak telah mampu melaksanakan keperluannya.[19]
            Dari latar belakang di atas,  maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji materi tersebut dan dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada pandangan keluarga pesantren tentang keluarga berencana serta aplikasi progam keluarga berencana dikalangan keluarga pesantren. Pada umumnya ada sebagian para ulama yang mendukung terhadap progam keluarga berencana dan ada sebagian juga yang tidak mendukung terhadap progam tersebut. Dan sejauh ini pula peneliti juga ingin mengetahui sejauh mana peran progam berencana tersebut dalam membentuk keluarga sakinah dikalangan keluarga pesantren, serta dampaknya dalam membentuk keluarga sakinah.


[1]Hassan Hathout, Panduan Seks Islami (Jakarta: Zahra, 2008),125.
[2]”Kontrasepsi dalam tinjauan syar'i”, http://islammuna.multiply.com/journal/item/15 (diakses pada 08 Mei 2008). 
[3]”Keluarga Berencana”,  http://situs.kesrepro.info/kb/referensi.htm, (diakses pada 08 Mei 2008).
[4]Thariq At-Thawari, KB Cara Islam (Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2007),  viii.
[5]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah  (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1997), 55.
[6]Hathout,  , Op. Cit., 125.
[7]Mahjudin, Masailil Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), 70.
[8]At-Thawari, Op. Cit., xii.
[9]Keluarga Berencana, Op Cit,  
[10]Kontrasepsi Dalam Tinjauan Syar’i, Op.Cit.,
[11]Mahjudin, Op. Cit., 69-70.

[12]BKKBN, ”KB Tidak bertentangan dengan ajaran Islam”, http://www.bkkbn.go.id/gemapria/info.detail.php?infid=29  (diakses pada 08 Mei 2008).   
[13]Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), v-vi.
[14]Zuhdi, Op. Cit., 54.
[15]Zaitunah Subhan, Op. Cit., 29.
[16]Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 9.  
[17]Ibid., 12-13.
[18]QS. Asy-Syura (42): 49-50.
[19]”Institusi Keluarga Dalam Islam”,  http://www.geocities.com/farouq1965/TPSM/1i.htm ,(diakses pada 08 Mei  2008).4.1-4.3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar