BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang
pedagang meletakan merek tertentu pada barang dagangnya sebenarnya hanya
bertujuan untuk memberikan tanda saja. Ketika barang dagangnya dijual dipasaran
bebas apalagi dalam jumlah besar dan bercampur dengan barang-barang yang sama
dengan pedagang lain. Maka ia akan mudah mengenal barang dagangnya dengan
melihat merek yang digunakannya. Pedagang yang bersangkutan dapat dengan mudah
untuk menarik atau mengganti barang dagangnya yang dipandang sudah tidak layak
dijual ke masyarakat.[1]
Setiap
pedagang tidak hanya semata-mata menjual barang untuk meraih keuntungan
melainkan barang yang dijual akan bermanfaat kepada para pembelinya. Sebaliknya
seseorang mau membeli sebuah barang karena ia membutuhkan barang tersebut.
Tidak mungkin ada orang membeli barang yang tidak berguna gunanya bagi dirinya
karena sama saja membuang uang dengan percuma.[2]
Beberapa
tahun belakangan, seringkali kita membaca dan melihat di media tentang sengketa
hak kekayaan intelektual (HAKI) termasuk merek (trademark), yang tidak hanya
sebatas pada perusahaan dalam negeri saja tetapi juga seringkali melibatkan
perusahaan asing. Bisa jadi sengketa merek muncul lantaran beberapa hal, antara
lain karena pengusaha tidak segera mendaftarkan mereknya sehingga dimanfaatkan
pihak lain, kelalaian Ditjen HAKI karena tanpa sengaja mensahkan suatu
pendaftaran merek yang mempunyai kemiripan dengan merek terdaftar lain, ataupun
sengketa yang disebabkan adanya pihak beritikad tidak baik yang dengan sengaja
mendaftarkan merek-merek terkenal atau menguntungkan, untuk tujuan mendompleng
kepopuleran ataupun mencari kompensasi uang atau ganti rugi di kemudian hari.[3]
Merek
sejatinya bukanlah sekadar ciri pembeda antara produk satu dengan yang lain.
Bagi pengusaha, merek merupakan aset yang sangat bernilai karena merupakan ikon
kesuksesan sejalan usahanya yang dibangun dengan segala keuletan termasuk biaya
promosi. Kasus sengketa merek seringkali terjadi disebabkan adanya pihak
tertentu yang mengambil kesempatan untuk mencari kompensasi atau uang ganti
rugi dikemudian hari, dengan cara mendaftarkan merek-merek yang sudah dikenal
umum masyarakat.[4]
Timbulnya
sengketa merek kebanyakan dilatarbelakangi dengan adanya peristiwa peniruan
atau menggunakan merek secara tidak sah milik pihak lain. Merek yang ditiru
biasanya merek yang sudah dikenal di masyarakat karena barang yang
deperdagangkan terlihal laku keras di pasaran.adapun motivasi perbuatan
tersebut tidak lain untuk membonceng keterangan merek orang lain dan untuk
memperoleh keuntungan secara tidak wajar.
Kebanyakan suatu sengketa tidak mungkin
dibiarkan menjadi berlarut-larut oleh
para pihaknya. pada umumnya para pihak yang bersengketa sejak timbulnya
sengketa sudah bermaksud untuk mengakhirinya dengan jalan yang lebih efektif
dan sama-sama mencari kesepakatan dan damai.
Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya
ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/
difference) antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi
selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan
luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini
berarti sangat mungkin makin banyak sengketa yang harus
diselesaikan. [5]
Membiarkan sengketa dagang terlambat diselesaikan
akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efesien, produktifitas
menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat.
Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan di samping itu, peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terhambat. Kalaupun
akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa diantara para pihak yang
terlibat, peranan penasihat hukum, konsultan dalam menyelesaikan sengketa itu
dihadapkan pada alternatif penyelesaian yang dirasakan paling menguntungkan
kepentingan kliennya
Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya
dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dalam
keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling
berlawanan satu sama lain) Penyelesaian sengketa bisnis model ini semestinya tidak
direkomendasaikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata
hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah
alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.
Dari
latar belakang di atas, maka dalam
makalah ini akan mengkaji masalah penyelesaiang sengketa merek melalui lembaga alternatif penyelesaian
sengketa (APS) dalam penyelesaian
sengketa merek di luar pengadilan, karena dengan
alternatif ini dianggap lebih efisien. Pada umumnya menurut orang bisnis waktu
adalah uang dan apabila dalam dunia bisnisnya atau perdangan produknya
mengalami sengketa maka hal itu sangat merugikan baik secara materil dan
immmateril.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana peran lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam menyelesaian sengketa merek?
- Apa wewenang lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam menyelesaikan sengketa merek?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS) Dalam Menyelesaian
Sengketa Merek
Didalam
menyelesaikan sengketa merek terdapat 3 (tiga) alternative diantaranya yaitu
melalui lembaga penyelesaian sengketa, lembaga arbitrase dan lembaga
pengadilan. namun dalam makalah ini khusus akan membahas mengenai lembaga
alternative penyelesaian sengketa dalam menyelesaikan sengketa merek.
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada pasal 1 angka 10
menyebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak yakni penyelesaian pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.[6]
Alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah
seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk:[7]
1.
Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para
pihak yang bersengketa
2.
Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa
terjadi
3.
Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan
Jika
disimak secara cermat aturan UU No. 30 Tahun 1999 menunjukkan bahwa lembaga APS
sebagai lembaga perdamaian di luar pengadilan. Dahulu sebelum lahirnya UU
tersebut lembaga perdamaian sudah dikenal cukup lama oleh masyarakat. Apabila
ada sengketa, masyarakat terlebih dahulu melakukan penyelesaian dengan jalan
perdamaian. Jika perdamaian tidak berhasil baru persoalannya diselesaikan
dengan bantuan pihak ketiga.[8]
Wakti
itu dalam ada aturan tertulis tentang bagaimana tata cara melakukan usaha
perdamaian. Masyarakat yang melakukan perdamaian dengan caranya sendiri dengan
mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Dalam musyawarah mereka yang bersengketa
biasanya melakukan tawar-menawar (negosiasi) lebih dahulu dan jika mengalami
jalan buntu baru meminta bantuan pihak ketiga seperti kepala adat atau kepada
desa. Pihak ketiga mengusahakan mereka
sampai tercapai kesepakatan. Apabila kesepakatan sudah tercapai maka dibuatlah
perdamaian dan menjadi sengketa yang mereka hadapi. Dengan adanya UU No. 30
Tahun 1999 yang mengatur lembaga APS, memberikan kesan APS merupakan lembaga
baru. Padahal lembaga tersebut sebenarnya bukan lembaga baru, hanya saja aturan
tertulinya baru dituangkan pada tahun 1999 ke dalam UU.[9]
1. Prinsip Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Alternatif
penyelesaian sengketa (APS) dilandasi prinsip “pemecahan masalah dengan
bekerjasama yang disertai dengan itikat baik kedua belah pihak” dikarenakan dua
alasan:[10]
a.
Jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para
pihak yang bersengketa merancang prosedur / tata cara khusus untuk penyelesaian
berdasarkan musyawarah.
b.
APS melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dari kedua
belah pihak dalam usaha penyelesaian sengketa.
UU
No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menghendaki adanya kehendak para
pihak yang bersengketa dengan sungguh-sungguh menyelesaikan sengketanya dengan
perdamaian. Dengan kesungguhan niat tersebut harus pula diikuti bahwa mereka telah
menutup rapat0rapat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.[11]
Dalam
UU tersebut memberikan syarat, seperti disebutkan dalam pasal 6 (1) mereka
harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan sengketanya sendiri. Kedua
belah pihak harus sama-sama beritikad baik untuk kepentingan tersebut. Untuk
itikad baik datangnya harus dari dalam diri senidri.[12]
Itikad
baik dan kesungguhan untuk menggunakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa
(APS) dalam menyelesaikan sengketa bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan
bagi seseorang yang sedang menghadapi sengketa. Memang terasa sulit untuk dapat
diwujudkan oleh masing-masing pihak akan kesadarannya untuk meniadakan beda
pendapat. Mungkin pada awalnya kedua hal di atas ada pada diri mereka. Namun
pada umumnya kendala yang sering ditemukan, karena sifat orang cenderung merasa
dirinya paling benar sendiri. Kemudian orang kurang atau tidak mau mendengar
apa yang disampaikan pihak lawan dan lebih cenderung mudah menyalahkan orang
lain. Ketika pihak yang bersengketa dapat bertemu untuk menyelesaikan sengketa,
sering terjadi masing-masing pihak kurang menguasai diri dalam berdialog. Jika keadaan kurang kondusif akan membuat
pihak yang besengketa tidak dapat menunjukkan itikad baiknya dan tidak lagi
tampak ada kesungguhan dalam usaha memperoleh perdamaian.[13]
Untuk
dapat melaksanakan itikad baik dan kesungguhan dalam menyelesaikan sengketa
masing-masing pihak dibutuhkan pula sikap mental serta kominikasi yang baik
sehingga dapat tercipta suasana yang enak, ramah dan penuh kekeluargaan.[14]
2. Bentuk Dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
a. Bentuk
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Bentuk-bentuk Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) yaitu
1). Negosiasi adalah suatu proses berkomunikasi
satu sama lain yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika pihak
lain menguasai yang kita inginkan.[15]
Menurut Hartman
negosiasi adalah Proses komunikasi antara dua pihak, yang masing-masing
mempunyai tujuan dan sudut pandang mereka sendiri, yang berusaha mencapai
kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak mengenai masalah yang sama.
Menurut Casse, Negosiasi adalah proses dimana paling sedikit ada dua pihak
dengan persepsi, kebutuhan, dan motivasi yang berbeda mencoba untuk bersepakat
tentang suatu hal demi kepentingan bersama.[16]
2). Mediasi adalah suatu proses penyelesaian
sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga
yang independent untuk bertindak sebagai mediator (penengah) dengan menggunakan
berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam
menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Mediator tidak mempunyai
kewenangan untuk membuat keputusan yang mengikat, tetapi para pihaklah yang
didorong untuk membuat keputusan. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah
akta perdamaian antara para pihak yang berselisih.[17]
Menurut Kenny mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan
pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para
pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang
bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian.[18]
3). Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian
sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga
yang independent untuk bertindak sebagai konsiliator (penengah) dengan
menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para
pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Konsiliator
mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang bersifat anjuran. Oleh karena
itu bentuk penyelesaiannya adalah putusan yang bersifat anjuran.[19]
4). Konsultasi adalah pertukaran
pikiran untuk mendapatkan kesimpulan (nasihat, saran, dan sebagainya) yg
sebaik-baiknya. Sedangkan istilah berkonsultasi ada dua yaitu a). bertukar pikiran atau meminta
pertimbangan dl memutuskan sesuatu (tentang tusaha dagang dan sebagainya),
misalnya tokoh-tokoh bank berkumpul di Jakarta dan saling untuk memecahkan
masalah perkreditan; b). meminta nasihat (tentang kesehatan, pendidikan, dan
sebagainya).[20]
b.
Prosedur Penyelesaian
Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
1). Pertemuan
Langsung
Prosedur dalam
menyelesaiakan sengketa yang harus
ditempuh oleh para pihak menurut pasal 6 (2) UU No. 30 Tahun 1999 adalah
mengadakan pertuan langsung diantara mereka. Istilah pertemuan langsung
mengandung arti mereka sendiri yang harus bertemu secara face to face disuatu
tempat tertentu, pertemuan tidak boleh dilakukan melalui telepon atau teleconference,
naupun kehadirannya diwakilkan oleh seorang kuasa. Maksud diaturnya
pertemuan langsung supaya para pihak yang bersengketa sendiri yang
menyelesaikan sengketanya.[21]
Dalam pertemuan awal
para pihak para pihak dapat membeicarakan tempat dan waktu pertemuan tersebut yang
dapat diadakan di rumah salah satu pihak, atau tempat yang netral misalnya
disebuah restoran atau hotel terdekat.
2). Melakukan
Negosiasi
Jika
pertemuan tersebut dapat dilangungkan, untuk dapat menuju tercapainya
perdamaian cara yang digunakan adalah negosiasi. Para pihak yang bersengketa
setelah bertemu di suatu tempat maka yang pertama dibicarakan adalah mengenai
sengketa atau permasalahannya harus jelas lebih dahulu. Stelah itu baru jalan
keluarnya dengan melakukan proses tawar-menawar untuk dapat mencari
kesepakatan. Apabila penawaran yang berakhir tersebut dapat diterima, maka
terjadilah kesepakatan di antara mereka. Sebaliknya apabila terjadi penolakan
terhadap penawaran, maka sengketa masih dapay berlanjut dengan menggunakan
alternative penyelesaian sengketa (APS).[22]
3). Meminta Bantuan
Pihak Ke Tiga
Jika
proses negosiasi berjalan a lot, merasa kesulita untuk memperoleh titik temu,
akan tetapi kedua belah pihak masih berharap sengketa dapat diselesaikan, maka
berdasarkan pasal 6 (3) UU tersebut, dengan kesepakatan mereka dapat meminta
bantuan kepada pihak ketiga. Yang dimaksud pihak ketiga adalah penasihat ahli
dan mediator. Seorang ahli dibidang tertentu dapat diminta untuk memberika nasihat-nasihat yang
berhubungan dengan persoalan dengan sengketa. Sedangkan mediator untuk
melakukan tugas mediasi guna menjembatani usaha perdamaian. Mereka bebas dalam
mencari siapa saja yang dapat menjadi penasihat ahli jumlahnya dapat dicari
lebih dari satu orang, sedangkan mediator cukup hanya seorang.[23]
Apabila
hasil mediasi pada akhirnya kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan atau
perdamaian, maka menjadi selesailah sengketa mereka karena apa yang diharapkan
melalui lembaga APS sudah diperoleh dengan baik. Berdasarkan pasal 6 (7) UU No.
33 Tahun 1999 perdamaian tersebut harus dibuat secara tertulis. Ketentuan ini
sejalan dengan pasal 1851 (2) KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian itu
akan menjadi tidak sah apabila tidak dibuat secara tertulis. Keharusan secara
tertulis karena untuk memudahkan pembuktian tentang adanya peristiwa
perdamaian. Dengan menunjukkan akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak sudah sebagai alat bukti mengenai kejadian tersebut.[24]
Selain
perjanjian perdamaian bersifat tertulis juga bersifat final artinya dengan
tercapainya perdamaian maka sudah tidak ada lagi proses hukum lain untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Perjanjian perdamaian sudah tidak dapat lagi
diubah oleh siapa pun termasuk para pihak yang bersengketa. Perjanjian
perdamaian tinggal dilaksanakan.[25]
Selanjutnya
perjanjian yang sudah dibuat secara tertulis wajib didaftarkan ke Pengadilan
Negeri (PN). Kewajiban tersebut diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 pasal 6 (7).
UU tersebut juga mewajibkan paling lama 30 hari setelah perjanjian tersebut
ditandatangani kedua belah pihak harus sudah didaftarkan. Pendaftaran
dimaksudkan hanya untuk kepentingan administrative saja. Pengadilan tidak ikut
campur apa yang terjadi setelah
perjanjian perdamaian didaftarkan dan pelaksanaannya merupakan tanggung
jawab para pihak itu sndiri. Bagi pengadilan dengan pendaftaran tersebut dapat
digunakan sebagai bahan untuk mengetahui
berapa banyak sengketa yang dapat dilaksanakan melalui lembaga APS.[26]
Kemudian
UU memberikan batasan bahwa dalam tempo maksimal 14 hari setelelah pihak yang diminta
bantuannya tersebut bekerja dan ternyata mereka tidak berhasil mencapai kata
sepakat atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka
pihak yang bersengketa dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga
APS untuk menunjuk seorang mediator. Jadi setelah dengan bantuan penasihat ahli
maupun mediator masih gagal untuk mencapai perdamaian, maka prosesnya tidak
berhenti sampai disitu melainkan para pihak mencari mediator lagi dengan
bantuan pihak ketiga tersebut dalam rangka melanjutkan mediasinya.[27]
Jika
perdamaian dengan melaui lembaga APS tidak mencapai suatu kesepakatan untuk
berdamai, UU No. 30 tahun 1999 memberikan jalan keluar tetap mengesampingkan
penyelesaian melalui pengadilan. Penyelesaiannya yang dikehendaki adalah
melalui lembaga arbitrase. Dan apabila melalui lembaga arbitrase terdapat salah
satu pihak yang susah untuk diajak bertemu dan membuat perjanjian arbitrase
maka para pihak yang bersengketa dapat langsung mengajukan gugatan ke
pengadilan.[28]
B. Sengketa Merek Yang Dapat Dilaksanakan Melalui
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Lembaga APS sifatnya umum karena bermacam ragam
sengketa yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan menggunakan
lembaga ini. Sengketa dibidang merek juga demikian dapat diselesaikan melalui
lembaga APS. Meskipun demikian UU No. 15 Tahun 2001 hanya mengatur sengketa
ganti rugi atas pelanggaran hak atas merek yang dapat diselesaikan melalui
lembaga APS. [29]
Pasal 84 UU merek tersebut menyatakan, bahwa selaian
penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam bagian pertama Bab ini, para
pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternative
penyelesaian sengketa. Penyelesaian gugatan selain yang diatur di dalam bagaian
pertama Bab ini (yaitu Bab XI) yang dimaksudkan adalah gugatan pembatalan
pendaftaran merek dan penghapusan pendaftaran merek seperti yang diatur dalam
Bab VII. Sedangkan persoalan yang diatur dalam bagian pertama Bab XI tentang
masalah ganti rugi dan atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan
penggunaan merek akibat penggunaan merek yang dilakukan orang lain tanpa hak.[30]
Sengketa pembatalan pendaftaran merek yang
dipermasalahkan adalah pemilik merek beritikad tidak baik, merek yang harus
ditolak untuk didaftar. Sebagian besar sengketa merek yang terjadi di dalam
praktik mempermasalahkan siapa yang berhak atas merek karena terdapat dua merek
yang sama telah terdaftar di Dirjen HAKI mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada
keseluruhannya. Sengketa seperti ini sulit untuk didamaikan karena harus
ditentukan oleh pengadilan salah satu di antara para pihak yang bersengketa berhak
atas merek. Dirjen HAKI dapat melakukan pembatalan pendaftaran merek apabila
ada perintah dari pengadilan sebagaimana yang ditetapkan dalam putusan.[31]
Dalam masalah gugatan pihak ketiga harus diajukan
melalui sidang pengadilan niaga, sehingga tidak mungkin dilakukan usaha
perdamaian melalui APS, karena sengketa dalam masalah penghapuan pendaftaran
merek tidak ada pelanggaran hak terhadap merek milik orang lain. Demikian pula
dengan penghapusan atas permohonan pemilik merek sendiri dan atas prakarsa
Dirjen HAKI, dalam hal ini tidak ada sengketa hak atas merek, melainkan sifatnya
hanya masalah administratif saja, yang tidak diperlukan usaha perdamaian.[32]
Selanjutnya mengenai sengketa ganti rugi akibat
pelanggaran hak atas merek UU No. 15 Tahun 2001 memberi kesempatan untuk
menyelesaikan sengketa melalui lembaga APS karena terjadi sengketa antara
pemilik merek dengan pihak lain yang menggunakan merek secara tidak sah. Permintaan
ganti rugi tersebut dapat diikuti dengan perhatian semua perbuatan yang
berkaitan dengan penggunaan merek.[33]
C. Kelebihan Dan Kekurangan Lembaga APS
Setiap lembaga kemasyarakatan selalu tidak terlepas
dari kelabihan dan kelemahannya, hal ini juga dimiliki oleh lembaga APS.
Kelebihan lembaga APS antara lain adalah:[34]
a. Sengketa
dapat diselesaikan dengan lebih cepat, apabila para pihak mamiliki kesungguhan
dan beritikad baik menyelesaikan sengketanya maka sengketa dapat berakhir
paling lama 14 hari.
b. Para
pihak leluasa mengatur sendiri tata cara penyelesaian sengketa sampai
tercapainya perdamaian.
c. Para
pihak saling menjamin kerahasian sengketa.
d. Masing-masing
pihak merasa puas atas hasil yang dicapai.
e. Tidak
dikenal adanya biaya perkara, kalaupun ada pengeluaran biaya untuk kepentingan
bantuan mendatangkan penasihat ahli atau moderator dengan berdasarkan
kesepakatan.
Adapun mengenai kekurangan-kekurangan lembaga APS
antara lain yaitu:[35]
a. Lembaga
APS yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 masih belum memasyarakat karena
kurang sosialisasi.
b. Masih
sulit diharapkan kedua belah pihak yang bersengketa konsisten dengan
kesungguhan dan itikad baiknya menyelesaikan sengketa melalui lembaga APS.
c. Masih
sering terjadi usaha perdamaian melalui lembaga ini mengalami jalan buntu karena
masing-masing pihak tetap bertahan pada pendapatnya semula.
d. Tidak
ada upaya paksa dalam pelaksanaan perdamaian sehingga pihak yang tidak mematuhi
isi perdamaian dapat dengan mudah mengelak akan tanggung jawabnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peran lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam penyelesaian sengketa merek adalah sebagai lembaga perdamaian di luar pengadilan. Yang bertujuan
untuk mencari suatu kesepakatan atau perdamaian dalam Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan
untuk keuntungan para pihak yang bersengketa selain itu pula untuk mengurangi biaya litigasi konvensional dan
pengunduran waktu yang biasa terjadi dan mencegah terjadinya sengketa hukum
yang biasanya diajukan ke pengadilan.
Wewenang lembaga alternatif penyelesaian sengketa
(APS) dalam menyelesaikan sengketa merek adalah untuk sengketa
ganti rugi akibat pelanggaran hak atas merek UU No. 15 Tahun 2001. Sedangakan
untuk sengketa pembatalan pendaftaran merek yang dipermasalahkan adalah pemilik
merek beritikad tidak baik, merek yang harus ditolak untuk didaftar. Itu
menjadi wewenang pengadilan karena hal itu menyangkut siapa yang berhak atas
merek dan Dirjen HAKI dapat melakukan pembatalan pendaftaran merek apabila ada
perintah dari pengadilan sebagaimana yang ditetapkan dalam putusan.
[1]Gatot Supramono, “Menyelesaikan
Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 1.
[3]Mesin Kasir, “Kasus sengketa merek Waroeng Podjok Vs Warung Pojok”, http://indocashregister.com/?s=Kasus+sengketa+merek+Waroeng+Podjok+Vs+Warung+Pojok+&x=11&y=14 , (Diakses Pada Tanggal 24 Juni 2011).
[5]MUC Learning Center, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Mediaton & Alternative Dispute Resolution)”, http://edcmucglobal.com/?do=event&id=468, (Diakses Pada Tanggal 13 Juli 2011).
[6]Menurut UU No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[7]Anggara, “Tentang Alterntif Penyelesaian Sengketa (APS)”, http://anggara.org/2007/09/17/tentang-alternatif-penyelesaian-sengketa-aps/, (Diakses Pada Tanggal 13 Juli. 2011).
[8]Gatot Supramono, Op, Cit., 53.
[10]Anggara, Op, Cit.,
[11]Gatot Supramono, Op, Cit., 54.
[15] Anggara, Op, Cit.,
[16]Kenny, “Mediasi”, http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/05/28/mediasi/,
(Diakses Pada Tanggal 13 Juli 2011).
[17]Anggara, Op, Cit.,
[18]Kenny, Op, Cit.,
[19]Anggara, Op, Cit.,
[20]Arti kata, “Konsultasi”, http://www.artikata.com/arti-336101-konsultasi.html, (Diakses Pada Tanggal 14 Juli 2011).
[21]Gatot Supramono, Op, Cit., 55.
[23]Ibied.,
[26] Ibied.,
[35] Ibied., 61.
Salam Sukses,
BalasHapushal terpenting dalam memilih maupun akan menjalankan Business Opportunity,Franchise,atau Waralaba
bukan semata-mata terletak pada seberapa bagus produk yang akan di jual,serta seberapa besar kebutuhan pasar akan produk tersebut.
pernahkah terbayangkan tiba-tiba anda harus mengganti merek disaat business sedang berkembang pesat karena adanya tuntutan dari pihak lain atas Merek yang digunakan ?
belum lagi anda diharuskan membayar ratusan juta Rupiah karena hal tersebut diatas?
inilah pentingnya fungsi daftar merek,desain industri,hak cipta,paten.
Konsultasikan merekdagang anda segera pada www.ipindo.com konsultan HKI terdaftar.